Hak Cipta, Dilindungi Oleh Allah SWT. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Surat untuk Osama bin Laden


Osama... kamu tidak pernah bilang padaku kalau kamu ingin meledakkan WTC dan Pentagon Bush juga tidak punya bukti sampai sekarang jadi aku memilih percaya pada cinta yang terpancar 
dibalik keteduhan matamu 
pada semangat pembelaan yang tersimpan dibalik lebatnya janggutmu 
Osama... kamulah yang mengajar bangsa-bangsa yang bisu untuk bisa bicara maka mereka berteriak 
kamulah yang menanam bibit keberanian 
di ladang jiwa-jiwa orang-orang pengecut maka mereka melawan 
kamulah yang menebar nikmat kemerdekaan di relung kalbu orang-orang tertindas maka mereka berjuang 
kamulah yang mengobarkan harapan di langit hati orang-orang terjajah maka mereka memberontak 
Osama... kamulah yang mengunci mulut bangsa-bangsa adidaya supaya mereka terdiam maka mereka hanya bisa mengamuk 
kamulah yang meruntuhkan keangkuhan 
dari jidat bangsa-bangsa arogan 
maka mereka terbungkam 
kamulah yang merampas rasa aman dari jiwa bangsa-bangsa tiran maka mereka tak pernah bisa tidur nyenyak 
kamulah yang merebut selera hidup dari langit hati bangsa-bangsa makmur itu maka mereka tak lagi menikmati hidup 
Osama oh Osama... Osama oh Osama... 
mari kita nyanyikan lagu kemenangan bersama nurani anak-anak manusia yang telah menemukan kehidupannya 
Osama oh Osama... Osama oh Osama... 
mari kita senandungkan nasyid keabadian bersama nurani anak-anak manusia yang merindukan taman-taman surga 

(ternyata surat ini dijawab Osama bin Laden)
 

Jawaban Osama 
Saudaraku... 
suratmu sudah kuterima 
aku baik-baik saja disini aku masih minum teh di pagi hari dan menikmati sunset di sore hari aku juga masih mengendalikan bisnis dan mengontrol jaringan ALQAIDAH dari balik gua-gua Afganistan 
tenanglah Saudaraku karena jadwal kematianku tidak ditulis di Pentagon atau Gedung Putih 
Saudaraku... Aku menonton aksi-aksi kalian di TV Al-Jazeera Aku senang kalian sudah mulai berani bicara Aku gembira kalian sudah mulai bilang tidak 
Aku bahagia kalian belajar jadi singa Aku terharu kalian miskin-miskin tapi mau nyumbang 
Aku terheran-heran kalian kecil-kecil tapi mau jihad ke Afganistan Aku pikir kalian ini anak-anak ajaib 
Saudaraku... Aku mau buka rahasia sama kamu tapi jangan bilang siapa-siapa... Kamu tahu tidak...? kenapa orang-orang taliban sayang padaku kata mereka ternyata karena aku lucu 
Bocah-bocah Afgan juga senang padaku kata mereka karena aku bawa mainan pesawat-pesawat Amerika untuk mereka 
Para pemulung Afganistan juga suka padaku kata mereka karena rudal-rudal Amerika itu bisa jadi besi tua yang laris 
Orang-orang Amerika itu terlalu serius padahal kita cuma sedang bermain di halaman surga 
Saudaraku... kalau nanti ALLAH memilihku jadi syahid utusanku akan datang menemuimu membawa sebuah pundi kecil itulah darahku...!! siramlah taman jihad di Ambon, Ternate dan Poso... 
Tapi kalau aku bisa mengubur keangkuhan Amerika disini.. Aku akan datang ke Indonesia kamu tahu apa yang akan aku lakukan...? Aku hanya mau investasi di negerimu
»»  Baca Selengkapnya...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hijab & Kehormatan Wanita

»»  Baca Selengkapnya...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hijab & Kehormatan Wanita

»»  Baca Selengkapnya...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Waktu Mustajabah


Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“Keadaan dimana seorang hamba menjadi paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika dia dalam keadaan sujud, karenanya perbanyaklah doa (ketika sujud).” (HR. Muslim: 1/350)
Dari Anas bin Malik -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
الدُّعَاءُ لَا يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ
“Doa di antara azan dan iqamah tidak akan ditolak.” (HR. At-Tirmizi: 1/415 dan 5/577, Abu Daud: 1/144. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil: 1/261 no. 244, dan Shahih Al-Jami’: 3/150)
Dari Sahl bin Sa’ad -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
ثِنْتَانِ لَا تُرَدَّانِ أَوْ قَلَّمَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَعِنْدَ الْبَأْسِ حِينَ يُلْحِمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا
“Dua doa yang tidak akan ditolak atau jarang sekali ditolak: Doa ketika azan dan doa ketika terjadi peperangan tatkala mereka sudah saling menyerang.”(HR. Abu Daud: 3/21 dan Ad-Darimi: 1/217. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud: 2/483)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kita -Tabaraka wa Ta’ala- turun setiap malam ke langit dunia ketika sudah tersisa sepertiga malam terakhir. Lalu Dia berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku akan mengabulkannya, siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya.” (HR. Al-Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)
Dari Jabir -radhiallahu anhu- dia berkata: Aku mendengar Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya di malam hari ada satu waktu, dimana tidak ada seorang muslimpun yang meminta kebaikan kepada Allah ada waktu itu -baik kebaikan dunia maupun akhirat-, kecuali Allah akan memenuhi permintaannya, dan satu waktu itu ada pada setiap malam.” (HR. Muslim: 1/521)
Penjelasan ringkas:
Pada dasarnya, kapanpun seorang berdoa kepada Allah -dengan memenuhi semua adab dan syaratnya serta tidak ada sesuatu yang menghalanginya-, maka pasti doanya akan dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Hanya saja ada beberapa waktu yang ditunjukkan oleh nash-nash syara’ bahwa berdoa pada waktu-waktu tersebut lebih berpotensi untuk dikabulkan dibandingkan selainnya.
Di antara waktu-waktu itu -sebagaimana yang tersebut dalam dalil-dalil di atas- adalah:
1.    Saat sujud, baik di dalam maupun di luar shalat, baik sujud tilawah, sujud sahwi, dan sujud apa saja yang dilakukan untuk Allah Ta’ala.
2.    Di antara azan dan iqamah pada semua shalat yang disyariatkan padanya azan dan iqamah. Baik dia azan pada waktunya maupun azannya terundur dari waktu masuknya shalat.
3.    Ketika pasukan kaum muslimin sudah berhadapan dengan pasukan musuh dalam jihad fii sabilillah.
4.    Setiap malam pada 1/3 malam terakhir.
Beberapa waktu lain yang belum tersebut di atas:
1.    Satu waktu di hari jum’at.
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pernah menyebutkan tentang hari jum’at lalu beliau bersabda,“Padanya ada satu waktu dimana tidak ada seorang muslimpun yang sedang berdiri mengerjakan shalat pada waktu itu lalu dia meminta apapun kepada Allah Ta’ala kecuali Allah akan memenuhi permintaannya,” dan beliau berisyarat dengan tangannya untuk menunjukkan sangat sebentarnya waktu itu.” (HR. Al-Bukhari: 1/253 no. 935 dan Muslim: 2/583 no. 852)
Adapun waktu tepatnya maka dia adalah setelah ashar sampai maghrib. Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya pada hari jum’at betul-betul terdapat satu waktu dimana tidaklah seorang muslim meminta kebaikan kepada Allah pada waktu itu kecuali Dia akan memenuhi permintaannya, dan waktu itu setelah ashar.”(HR. Ahmad: 2/272 dan dia didukung oleh hadits setelahnya)
Dari Jabir -radhiallahu anhu- dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- beliau bersabda, “Hari jum’at itu ada 12 waktu, di antaranya ada waktu dimana tidaklah ada seorang muslim yang meminta kebaikan kepada Allah pada waktu itu kecuali Allah akan memenuhi permintaannya, maka carilah waktu itu di waktu terakhir setelah ashar.” (HR. Abu Daud: 1/275 no. 1048 dan An-Nasai: 3/99-100, dan sanadnya hasan)
Ibnu Al-Qayyim -rahimahullahu Ta’ala- dan ulama lainnya menguatkan bahwa waktu yang dimaksudkan pada hari jum’at adalah setelah ashar. (Lihat Zaad Al-Ma’ad: 2/388-397)
2.    Ketika meminum air zam-zam jika disertai dengan niat yang baik.
Dari Jabir -radhiallahu anhu- dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- beliau bersabda, “Air zam-zam itu untuk apa dia diminum.” (HR. Ibnu Majah: 2/1018 dan Ahmad: 3/357,372. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil: 4/320 no. 1123, dalam Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 83, dan selainnya)
3.    Setelah membaca shalawat untuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pada tasyahud terakhir.
Dari Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu anhu- dia berkata, “Aku sedang shalat sementara Nabi -shallallahu alaihi wasallam- sedang bersama Abu Bakar dan Umar. Tatkala aku sedang duduk (di dalam shalat), aku mulai memuji Allah kemudian bershalawatt kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian aku berdoa untuk diriku. Maka Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Mintalah maka permintaanmu akan dipenuhi, mintalah maka permintaanmu akan dipenuhi.” (HR. At-Tirmizi: 2/488, An-Nasai, dan Ahmad: 1/26,38. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi no. 2765 dan dalam Shahih An-Nasai no. 1217)
Dari Fudhalah -radhiallahu anhu- bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- mendengar seorang lelaki shalat lalu dia mengangungkan Allah dan memuji-Nya serta bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Maka Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Berdoalah kamu maka doamu akan dikabulkan, dan mintalah kamu maka permintaanmu akan dipenuhi.” (HR. An-Nasai: 33/44,45 dan At-Tirmizi: 5/516. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih An-Nasai: 1/275)
4.    Ketika berdoa pada hari Arafah di padang Arafah bagi jamaah haji.
Dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Doa terbaik adalah yang diucapkan pada hari Arafah, dan ucapan terbaik yang saya dan para nabi sebelumku pernah ucapkan adalah, “Tidak ada sembahan yang hak selain Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya semua kekuasaan, hanya milik-Nya semua pujian, dan Dia Maha Mampu atas segala sesuatu.” (HR. At-Tirmizi dan Malik dalam Al-Muwaththa`: 1/422. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 3/184)
5.    Ketika ayam berkokok.
Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Jika kalian mendengar ayam berkokok maka mintalah keutamaan dari Allah karena sesungguhnya dia (ayam itu) melihat malaikat, dan jika kalian mendengar suara keledai maka berlindunglah kepada Allah dari setan karena sesungguhnya dia melihat setan.” (HR. Al-Bukhari: 4/89. Diriwayatkan juga oleh Muslim: 4/2092 dari hadits Abu Hurairah )
Pelajaran tambahan dari hadits-hadits di atas:
1. Disunnahkannya memperbanyak sujud, dan memperbanyak doa di dalamnya.
2. Penetapan sifat an-nuzul (turun ke langit dunia) bagi Allah Ta’ala, dengan sifat an-nuzul yang sesuai dengan keagungan-Nya, tidak serupa dengan sifat ‘turun’ makhluk dan tidak boleh membagaimanakannya.
Dan sifat turun di sini tidak bertentangan dengan sifat istiwa` (tinggi) di atas arsy, karena pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah- bahwa ketika Allah turun ke langit dunia maka arsy-Nya tidaklah kosong.
Jadi, sifat an-nuzul di sini adalah haqiqi, yakin Allah Ta’ala turun dengan Zat-Nya. Berbeda halnya dengan mazhab Al-Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan semacamnya yang menyatakan bahwa yang turun bukanlah Allah, akan tetapi yang turun adalah perintah atau rahmat-Nya. Ini jelas merupakan mazhab yang batil karena tahrif (memalingkan makna) kalam Allah dari maknanya yang haqiqi kepada makna yang tidak ditunjukkan oleh lafazh hadits.
Kami katakan: Bantahan kepada tahrif ini dari dua sisi:
1. Lanjutan haditsnya, “Siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku akan mengabulkannya, siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya.” Dan yang bisa mengucapkan ucapan seperti ini hanyalah Allah Ta’ala.
2. Kalau memang yang turun adalah rahmat/perintah Allah, lantas apa manfaatnya buat manusia kalau rahmat dan perintah Allah hanya turun sampai di langit pertama, dan tidak turun ke bumi?!
»»  Baca Selengkapnya...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MENGUSAP MUKA SEHABIS SHOLAT


Tanya:
Bagaimana hukumnya mengusap muka setelah berdoa sehabis sholat fardhu? (081321401XXX)
Jawab:
Banyak orang yang mengusap muka mereka setelah melakukan sholat ataupun berdo’a. Namun benarkah amalan itu pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya?
Memang kita dapati banyak riwayat yang menjelaskan tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan setelah berdoa, namun riwayat-riwayat tersebut tidak ada satupun yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berikut ini beberapa riwayat tersebut:
Hadits Pertama:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Dari Umar bin Khattab Radliyallahu ’anhu ia berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya.”
Hadits ini lemah.
Diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2/244), Ibnu ‘Asakir (7/12/2). Dengan sanad Hammaad ibn ‘Isa al-Juhani dari Hanzalah ibn Abi Sufyaan al-Jamhi dari Salim ibn ‘Abdullah dari bapaknya dari ‘Umar ibn al-Khatthab.
At Tirmidzi berkata : “Hadits ini gharib, kami hanya mendapatkannya dari Hammad ibn ‘Isa Al Juhani. Dan dia menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya.”
Al Hafidh Ibnu Hajar di dalam At Taqrib At Tahdzib, menjelaskan tentang riwayat hidupnya, menukil penilaian Ibnu Ma’in berkata: ‘Dia adalah Syaikh yang baik’, Abu Hatim berkata: ‘Lemah didalam (meriwayatkan) hadits’, Abu Dawud berkata: ‘Lemah, dia meriwayatkan hadits-hadits munkar’.
Hal senada dikatakan oleh Hakim, Naqash, Ad Daraquthni dan Ibnu Hibban. (Lihat Irwaul Ghalil 2/178)
Hadits Kedua:
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ
“Dari Said bin Yazid dari bapaknya bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berdo’a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya tersebut.”
Hadits ini Dha’if (lemah).
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1492) dari Ibnu Lahi’ah dari Hafsh bin Hisyam bin ‘Utbah bin Abi Waqqash dari Sa’ib bin Yazid dari ayahnya.
Ini adalah hadits dha’if berdasarkan pada Hafsh bin Hisyam karena dia tidak dikenal (majhul) dan lemahnya Ibnu Lahi’ah (Taqribut Tahdzib). (Lihat Irwaul Ghalil 2/179)
Hadits Ketiga
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَوْتَ اللَّهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ
“Dari Ibnu Abbas. Ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika engkau berdo’a kepada Allah, mohonlah dengan kedua telapakmu yang bagian dalam, janganlah engkau memohon dengan punggung kedua telapak tangan. Dan jika engkau sudah selesai (berdo’a) maka usapkan kedua (telapak tangan) tersebut kewajahmu”.
Hadits ini lemah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1181, 3866), Ibnu Nashr dalam Qiyaamul-Lail (hal. 137),Ath Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabir (3/98/1) & Hakim (1/536), dari Shalih ibn Hassan dari Muhammad ibn Ka’b dari Ibnu ‘Abbas radiallaahu ‘anhu (marfu’). (Lihat Irwaul Ghahlil 2/179)
Hadits Keempat
سَلُوا اللَّهَ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلَا تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا فَإِذَا فَرَغْتُمْ فَامْسَحُوا بِهَا وُجُوهَكُمْ
“Mohonlah kalian kepada Allah dengan kedua telapakmu yang bagian dalam, janganlah kalian memohon kepada-Nya dengan punggung kedua telapak tangan. Dan jika kalian sudah selesai (berdo’a) maka usapkan kedua (telapak tangan) tersebut kewajah kalian”.
Hadits ini Lemah.
Dilemahkan oleh Imam Nawawi (lihat Nazlul Abrar : 36), Al Baghawi dalam Syarah Sunnah 5/203, AL Bushiri dalam Az-Zawaid  (Misbahuz Zujajah) 1/141, Syeikh Albani dalam As-Shahihah 2/146 dan Syaikh Bakar Abu Zaid dalam Mashul Wajhi 9-21.
Inilah beberapa riwayat tentang mengusap wajah setelah berdoa, yang kesemuanya tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, oleh karenanya riwayat-riwayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam masalah ini.
Justru kita dapatkan pengingkaran dari para ulama salaf tentang mengusap wajah setelah berdoa ini diantaranya:
  1. Imam Anas Bin Malik.
Imam AL Maruzi mengatakan dalam Kitabul Witri hal : 236 : “Imam Malik bin Anas Rahimahullah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengusapkan kedua telapak tangannya kewajahnya setelah berdoa. Lalu beliau mengingkarinya seraya berkata: “Aku tidak tahu (sunnahnya).”
  1. Abdullah bin Mubarak.
Imam Baihaqi (2/212) meriwayatkan dari Al Basyani ia berkata: “Aku bertanya kepada Abdullah yakni Ibnu Mubarak tentang orang yang berdoa kemudian mengusap wajahnya, beliau menjawab : “Aku tidak mendapati pijakan (dalil) yang kuat tentang persoalan itu.”
  1. Imam Izz bin Abdussalam.
Imam Al Munawi dalam Faidhul Qadir 1/369 mengatakan: Imam Izz bin Abdussalam berkata: “Tidaklah mengusap wajahnya kecuali orang yang jahil.”
  1. Imam An Nawawi.
Dalam Kitab beliau al Majmu’ sebagaimana dinukil oleh Ibnu Allan dalam Syarah Al Adzkar2/311, beliau mengatakan: “Tidak disunnahkan mengusap (wajah) setelah berdoa diluar sholat.”
  1. Imam Ibnu Taimiyah.
Di dalam Majmu’ Fatawa (22/519) beliau mengatakan: “Banyak hadits-hadits yang shahih yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan beliau dalam berdoa. Sedangkan tentang mengusap wajah dengan kedua tangan beliau (setelah berdoa) tidak banyak riwayat dari beliau kecuali satu atau dua riwayat saja, dan kedua riwayat itupun tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (lantaran periwayatannya yang lemah). Wallahu A’lam.”
Oleh karenanya pendapat yang paling kuat adalah tidak disyari’atkannya mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa, baik itu dalam sholat seperti ketika membaca doa qunut maupun diluar sholat saat seseorang berdoa memohon kepada Allah Ta’ala. (Lihat kitab Juz Fi Mashil Wajhi Bil Yadaini ba’da Raf’ihima liddu’a, Syeikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid)
»»  Baca Selengkapnya...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

HUKUM SHALAT TANPA MENGHADAP SUTRAH



Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah kau shalat kecuali di hadapan sutrah (tabir penghalang). Dan janganlah kamu biarkan ada seorangpun lewat dihadapanmu. Jika dia enggan (untuk dicegah), maka perangilah dia. Karena sesungguhnya orang itu disertai teman (setan)”. (HR: Muslim no: 260, Ibnu Khuzaimah no: 800, Lafadz menurut Al Hakim di Al Mustadrak (I/251), juga Baihaqi (II/268)).

Dari Abu Sa’id Al Khudzri Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : RasulullahShalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia menghadap sutrah dan hendaklah dia mendekati sutrah tersebut. Janganlah membiarkan seorangpun lewat diantara dirinya dan sutrah. Jika masih ada seseorang yang lewat, maka hendaklah dia memeranginya. Karena sesungguhnya dia itu adalah setan.” (HR: Ibnu Abi Syaibah di Al Mushannaf (I/279), Abu Dawud no: 697, Ibnu Majah no: 954, Ibnu Hibban (IV/48 dan 49), Baihaqi (II/267). Hadits Hasan).

Dari Sahl ibn Abi Hatsamah Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Apabila salah seorang dari kalian shalat di hadapan sutrah, maka hendaklah dia mendekatinya. Maka setan tidak akan memotong shalatnya.” (HR: Ibn Abi Syaibah (I/279), Ahmad (IV/2), Al Thayalisi no: 379, Al Humaidi (I/196), Abu Dawud no: 695, An Nasaa’I (II/62),dll. HaditsShahih).


“Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam berdiri shalat dekat sutrah yang jarak antara beliau dengan sutrah  didepannya 3 hasta.” (HR: Bukhari dan Ahmad). “Jarak antara tempat sujud dengan sutrah tersebut kurang lebih cukup untuk dilewati seekor anak kambing.” (HR: Bukhari dan Muslim). Terkadang beliau memilih di dekat tiang yang terdapat di dalam masjidnya. “Bila Beliau shalat (di tempat terbuka yang tidak sesuatupun menutupinya), Beliau menancapkan tombak di depannya, lalu shalat menghadap tombak tersebut, sedang para sahabat bermakmum di belakangnya.” (HR: Bukhari , Muslim, dan Ibnu Majah). “Suatu ketika pernah seekor anak kambing melintas di depan beliau saat shalat, lalu beliau maju mendahuluinya sampai perutnya menempel dinding (Sehingga anak kambing tersebut lewat dibelakang beliau).” (HR: Ibnu Khuzaimah, Thabarani, dan Hakim. Disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi).


Imam As Syaukani berkata : “Didalam hadits itu (Hadits riwayat Abu Sa’id) terkandung pengertian bahwa memasang sutrah hukumnya wajib.” (Nailul Authar III/2). Sutrah (Pembatas) dapat berupa tiang, dinding, punggung orang, tas, atau apapun yang mempunyai tinggi minimal 1 hasta (Al Masjid fi Al Islam : 78). Di antara hal yang menguatkan wajibnya membuat sutrah: “Sesungguhnya sutrah itu sebab yang syar’i, yang dengannya shalat seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang wanita yang baligh, keledai atau anjing hitam, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih. Dan untuk mencegah orang yang lewat dihadapannya serta hukum-hukum lain yang berkaitan dengan masalah sutrah. (Tamamul Minna hal 300). Oleh karena itu, salafus shalih -semoga Allah meridhai mereka- sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat. Sehingga datanglah perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan, bahwa mereka sangat gigih dalam mendorong menegakkan sutrah dan memerintahkannya serta mengingkari orang yang shalat yang tidak menghadap kepada sutrah.

Dari Qarrah bin Iyas, dia berkata : “Umar melihat aku sedang shalat di antara dua tiang. Dia langsung memegang leherku dan mendekatkan aku ke sutrah sambil berkata: Shalatlah di hadapan sutrah!” (HR: Bukhari (I/577). Al Hafidz Ibn Hajar berkata : “Umar melakukan hal itu dengan maksud agar shalat Qarrah bin Iyas berada di depan sutrah.” (Fathul Bari I/577).

Dari Nafi’, dia berkata: “Apabila Ibn Umar Radhiyallahu ‘anhu tidak lagi menemukan tiang masjid yang bisa dijadikan sutrah untuk shalat, maka dia akan berkata kepadaku: “Hadapkanlah punggungmu dihadapanku.” (HR: Ibn Abi Syaibah I/279. Sanad Shahih).


KETENTUAN HUKUM SUTRAH :

1. Kesalahan orang yang shalat yang tidak menghadap atau meletakkan di hadapannya sutrah, walaupun dia aman dari lalu-lalangnya manusia, atau dia berada di tanah lapang. Tidak ada bedanya antara di kota Makkah ataupun di tempat lainnya, dalam hukum tentang sutrah ini bersifat mutlak.( Lihat sandaran orang yang mengatakan, bahwa di Mekkah tidak ada sutrah, bahwasanya dibolehkan –di sana- berjalan melewati di hadapan orang-orang yang sedang shalat. Dan bantahan akan pernyataan ini terdapat dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal-Maudhu’ah, no. (928) dan kitab Ahkam as-Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 46-48) dan mengaitkan orang yang lewat di depan orang yang shalat dengan keadaan darurat merupakan perkara yang sifatnya sebagai alternatif, khususnya ketika berada di dalam keadaan yang sangat berdesak-desakan. Telah berkata al-Hafidz Ibnu Hajar tentangnya dalam al-Fath (1/ 576). Wallahu ‘alam).

2. Sebagian ulama mensunnahkan orang yang shalat untuk meletakkan sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan dengan tepat ke arah kiblat (Zaadul Ma’ad I/305). Yang demikian ini tidak ada dalilnya yang shahih, namun kesemuanya itu boleh.

3. Ukuran sutrah yang mencukupi bagi orang yang shalat, sehingga dia bisa menolak bahayanya orang yang lewat, adalah setinggi pelana kuda (2/3dzira’).Sedangkan orang yang mencukupkan sutrah yang kurang dari ukuran itu dalam waktu yang longgar tidak diperbolehkan. Dan dalilnya dari Thalhah, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika salah seorang dari kalian telah meletakkan tiang setinggi pelana di hadapannya, maka hendaklah ia shalat dan janganlah ia memperdulikan orang yang ada di belakangnya.”(HR: Muslim no: 499).

Dari ‘A`isyah -radhiyallahu ‘anha-, dia berkata: “Pada waktu perang Tabuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- ditanya tentang sutrahnya orang yang shalat, maka beliau menjawab: “Tiang setinggi pelana.” (HR: Muslim no: 500). Dan dari Abu Dzar, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika salah seorang dari kalian berdiri melakukan shalat, maka sesungguhnya dia telah tertutupi jika di hadapannya ada tiang setinggi pelana. Jika tidak ada tiang setinggi pelana di hadapannya, maka shalatnya akan diputus oleh keledai, perempuan atau anjing hitam.” (HR: Muslim no: 510).

Ukuran pelana adalah sepanjang 1 (satu) hasta atau dzira’. Sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi’.  Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai ke ujung jari tengah. Dan ukurannya kurang lebih: 46,2 cm. Telah tetap, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- shalat menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui keduanya adalah benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini menguatkan, bahwa yang dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta adalah pada tingginya, bukan lebarnya.

4. Dalam shalat berjama’ah, makmum itu tidak wajib membuat sutrah, sebab sutrah dalam shalat berjama’ah itu terletak pada sutrahnya imam.

(Diambil dari Kitab Al Qawl al Mubiin fi Akhtha al Mushallin, oleh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman, dan Kitab Sifat Shalat Nabi oleh Muhammad Nashiruddin Al Albani).
»»  Baca Selengkapnya...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS