Hak Cipta, Dilindungi Oleh Allah SWT. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

MENYANGGAH PENAFSIRAN YANG MERENDAHKAN WANITA

PERTANYAAN


Siapakah yang dimaksud dengan sufaha dalam firman Allah:


"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang  yang  belum
sempurna  akalnya  (sufaha)  harta  (mereka  yang  ada dalam

kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai  pokok  kehidupan.
Berilah  mereka  belanja  dan pakaian (dari hasil harta itu)

dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik." (an-Nisa'
5)


Majalah  al-Ummah  nomor  49  memuat  artikel  Saudari Hanan

Liham, yang mengutip keterangan Ibnu Katsir dari pakar  umat
dan   penerjemah   Al-Qur'an,  Abdullah  Ibnu  Abbas,  bahwa

as-sufaha (orang-orang  yang  belum  sempurna  akalnya)  itu
ialah "wanita dan anak-anak."


Penulis   tersebut   menyangkal   penafsiran  itu,  meskipun

diriwayatkan  dari  Ibnu   Abbas.   Menurutnya,   penafsiran
tersebut  jauh  dari  kebenaran,  sebab  wanita  secara umum

disifati  sebagai  tidak  sempurna  akalnya/bodoh   (salah),
padahal   diantara  kaum  wanita  itu  terdapat  orang-orang

seperti Khadijah, Ummu Salamah,  dan  Aisyah  dari  kalangan
istri Nabi dan wanita-wanita salihah lainnya.


Sebagian  teman  ada  yang  mengirim surat kepada saya untuk

menanyakan penafsiran yang disebutkan Ibnu Katsir  tersebut.
Apakah itu benar?


Bagaimana komentar Ustadz terhadap hal itu?


JAWABAN


Penafsiran kata sufaha dalam ayat tersebut dengan pengertian

yang dimaksud adalah kaum wanita secara khusus, atau  wanita
dan   anak-anak,  adalah  penafsiran  yang  lemah,  meskipun

diriwayatkan  dari  pakar  umat,  yaitu  Ibnu  Abbas   r.a.,
walaupun    sahih    penisbatan    kepadanya   atau   kepada

penafsiran-penafsiran salaf lainnya.


Kebenaran yang menjadi pegangan mayoritas umat  ialah  bahwa
penafsiran  sahabat  terhadap  Al-Qur'anul  Karim  itu tidak

secara otomatis menjadi hujjah  bagi  dirinya  dan  mengikat
terhadap yang lain. Ia tidak dihukumi sebagai hadits marfu',

walaupun sebagian ahli hadits ada yang beranggapan demikian.
Ia  hanya merupakan buah pikiran dan ijtihad pelakunya, yang

kelak akan mendapatkan pahala meskipun keliru.


Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas sendiri dan dari sebagian
sahabat-sahabatnya bahwa "Tiap-tiap orang boleh diterima dan

ditolak perkataannya, kecuali Nabi saw. (yang wajib diterima
perkataannya)."


Doa  Nabi  saw.  untuk  Ibnu  Abbas  agar Allah mengajarinya

takwil, tidak  berarti  bahwa  Allah  memberinya  kemaksumam
(terpelihara dari kesalahan) dalam takwil yang dilakukannya,

tetapi makna doa itu ialah  Allah  memberinya  taufik  untuk
memperoleh  kebenaran  dalam sebagian besar takwilnya, bukan

seluruhnya.


Karena itu, tidak mengherankan kalau ada  beberapa  pendapat
dan  ijtihad Ibnu Abbas mengenai tafsir dan fiqih yang tidak

disetujui oleh mayoritas sahabat dan umat sesudah mereka.


Kelemahan takwil yang dikemukakan Ibnu Abbas dan orang  yang
mengikutinya    bahwa   yang   dimaksud   dengan   as-sufaha

(orang-orang yang belum sempurna akalnya) adalah wanita atau
wanita dan anak-anak, tampak nyata dari beberapa segi.


Pertama, bahwa lafal sufaha adalah bentuk jamak taksir untuk

isim mudzakkar (laki-laki),  mufradnya  (bentuk  tunggalnya)
adalah safiihu, bukan safiihatu yang merupakan isim muannats

(perempuan). Kalau mufradnya safiihatu, maka bentuk jamaknya
adalah  mengikuti wazan fa'iilatu atau fa'aa'ilu sebagaimana

lazimnya  jamak  muannats,  sehingga  bentuk   jamak   lafal
tersebut adalah safiihaatu atau safaa'ihu.


Kedua,  bahwa  kata  sufaha  adalah  isim  zaman (kata untuk

mencela), karena mengandung arti kekurangsempurnaan akal dan
buruk   tindakannya.   Karena   itu,   kata-kata  ini  tidak

disebutkan  dalam  Antara  lain   Qur'an   melainkan   untuk
menunjukkan celaan, seperti dalam firman Allah;


"Apabila   dikatakan   kepada   mereka,   'Berimanlah   kamu

sebagaimana  orang-orang   lain   telah   beriman,'   mereka
menjawab, 'Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang

bodoh itu telah beriman?' Ingatlah,  sesungguhnya  merekalah
orang-orang   yang   bodoh,   tetapi   mereka  tidak  tahu."

(al-Baqarah: 13)


"Orang-orang  yang  kurang  akalnya  diantara  manusia  akan
berkata,  'Apakah  yang memalingkan mereka (umat Islam) dari

kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat
kepadanya?'   Katakanlah,  'Kepunyaan  Allah-lah  timur  dan

barat;   dia   memberi   petunjuk    kepada    siapa    yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.'" (al-Baqarah: 142)


Apabila  lafal  sufaha  itu untuk mencela, maka bagaimanakah

manusia akan dicela karena sesuatu yang tidak  ia  usahakan?
Bagaimana  seorang  perempuan akan dicela karena semata-mata

ia perempuan, padahal ia  bukan  yang  menciptakan  dirinya,
melainkan ia diciptakan oleh Penciptanya? Allah berfirman:


"...  sebagian  kamu  adalah  turunan dan sebagian yang lain

..." (Ali Imran: 195)


Dan disebutkan dalam suatu hadits:


"Sesungguhnya wanita adalah belahan (mitra) laki-laki." (HR.
Ahmad  bin  Hanbal  6:256 dan Baihaqi I:168. Disebutkan pula

dalam Kanzul 'Ummal nomor 45559)


Demikian pula halnya anak-anak.  Allah  menciptakan  manusia
dari  kondisi  yang  lemah  dan  dijadikan-Nya kehidupan itu

bertahap, dari bayi berkembang menjadi kanak-kanak, kemudian
meningkat  remaja, lalu dewasa. Sebab itu, bagaimana mungkin

seorang anak akan dicela karena ia masih kanak-kanak padahal
ia   tidak   pernah   berusaha   untuk  menjadi  kanak-kanak

(melainkan sudah merupakan proses yang ditetapkan Allah)?


Kalau kita kembali kepada tafsir-tafsir  modern,  akan  kita
dapati semuanya menguatkan pendapat Syekhul Mufassirin, Imam

ath-Thabari. Dalam tafsir al-Manar karya Sayid Rasyid  Ridha
disebutkan:


"Yang  dimaksud  dengan  as-sufaha  disini ialah orang-orang

yang  pemboros  yang  menghambur-hamburkan  hartanya   untuk
sesuatu   yang   tidak   perlu  dan  tidak  seyogyanya,  dan

membelanjakannya dengan cara yang buruk dan  tidak  berusaha
mengembangkannya."


Beliau  (Rasyid  Ridha) juga mengemukakan perbedaan pendapat

di kalangan salaf mengenai  maksud  lafal  sufaha.  Kemudian
beliau   menguatkan   pendapat   yang   dipilih  Ibnu  Jarir

(ath-Thabari) bahwa ayat itu bersifat umum,  meliputi  semua
orang  yang kurang akal, baik masih kanak-kanak maupun sudah

dewasa, laki-laki maupun perempuan.


Ustadz al-Imam (Muhammad Abduh)  berkata,  "Dalam  ayat-ayat
terdahulu  Allah  menyuruh  kita memberikan kepada anak-anak

yatim harta-harta mereka dan memberikan  kepada  orang-orang
perempuan akan mahar mereka. Dalam firman-Nya:


"Dan  janganlah  kamu serahkan kepada orang-orang yang belum

sempurna   akalnya   harta   (mereka    yang    ada    dalam
kekuasaanmu)..."(an-Nisa': 5)


Al-Imam  mensyaratkan kedua hal di atas. Artinya, berikanlah

kepada setiap anak yatim akan hartanya  bila  telah  dewasa,
dan   berikan  kepada  tiap-tiap  perempuan  akan  maharnya,

kecuali  apabila  salah  satunya  belum   sempurna   akalnya
sehingga  tidak dapat menggunakan hartanya dengan baik. Pada

kondisi demikian kamu dilarang  memberikan  harta  kepadanya
agar   tidak  disia-siakannya,  dan  kamu  wajib  memelihara

hartanya itu sehingga ia dewasa.


Perkataan  amwaalakum  (hartamu)  bukan  amwaalahum   (harta
mereka)  ,  yang  berarti  firman  itu ditujukan kepada para

wali, sedangkan harta itu milik as-sufaha yang  ada  didalam
kekuasaan  mereka,  menunjukkan beberapa hal. Pertama, bahwa

apabila harta itu habis dan tidak ada sisanya bagi si  safih
(anak  yang  belum/kurang  sempurna  akalnya) untuk memenuhi

kebutuhannya, maka  wajib  bagi  si  wali  untuk  memberinya
nafkah  dari  hartanya  sendiri.  Dengan  demikian, habisnya

harta si safih menyebabkan ikut habis (berkurang) pula harta
si  wali.  Alhasil,  harta si safih itu seakan-akan hartanya

sendiri.


Kedua, bahwa apabila as-sufaha itu telah  dewasa  dan  harta
mereka masih terpelihara, lantas mereka dapat menggunakannya

sebagaimana  layaknya  orang  dewasa  (normal),  dan   dapat
menginfakkannya   sesuai   dengan   tuntunan  syariat  untuk

kemaslahatan umum atau  khusus,  maka  para  wali  itu  juga
mendapatkan bagian pahalanya.


Ketiga,  kesetiakawanan  sosial  dan menjadikan kemaslahatan

dari masing-masing pribadi bagi yang lain, sebagaimana telah
kami   katakan  dalam  membicarakan  ayat-ayat  yang  lain."

(Tafsir al-Manar 4: 379-380)


-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer

Dr. Yusuf Qardhawi
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar