Setelah menyibak selimutku, aku bergegas merapikan tempat tidur. Ayah sperti biasa, menyambutku di pintu seraya terkekeh.
“Assalamu’alaikum…!” sapanya.
Aku menjawabnya pendek. Lebih tepat mendengus. Sedikit menggerutu. Ini selalu kulakukan untuk menutupi kekalahanku berlomba bangun dengan sosok menjulang itu.
“matahari belum terbit, Ayah?” tanyaku.
“Belum sayang. Sebentar lagi adzan shubuh. Berkemaslah…! Jangan sampai kau kembali masbuk pada rakaat kedua.”
Lantas Ayah hilang dibalik pintu. Segera kurapikan rambut dan bajuku. Tak boleh…! Aku tak boleh terlambat lagi hari ini. Aku segera keluar kamar dan mengambil air wudhu di kamar belakang. Ummi tengah mencuci piring di sana.
“kabar baik, Mujahid?”
Aku masih menggerutu. Panggilan itu tidak aku suka. Aku hanya mengiblatkan sorot mata tak sukaku pada wajah yang penuh rekah sneyum itu.
“Panggil aku Iqbal, Ummi…!”
“Oya, Ummi lupa kau tak suka panggilan itu. Bagaimana kabarmu hari ini, sayang??”
“Baik”
“Alhamdulillah. Pujilah Tuhanmu kalo begitu.”
Aku mendengus dan menyelinap lekas. Sempat kulihat gelas bekas susu dan roti yang masih terhidang di meja lengkap dengan mentega dan beberapa butir kurma. Pasti Ayah puasa lagi hari ini.
Kali ini aku sempat memperoleh qabla shubuh-ku di al-Aqsa. Lega sekali. Ayah tidak akan bisa mengolok-olokku sperti kemarin saat aku masbuk rakaat terakhir. Walaupun tadi aku kalah bangun duluan dari Ayah, namun paling tidak, Ayah tidak akan menyindir dengan begitu pedas sebagaimana kalau aku telat Subuh.
Aku berdiri pongah di shaf kedua. Kali ini aku begitu bangga karena siang nanti aku akan menceritakan keberhasilanku kepada Farouk. Aku ingin rambut keritingnya bergoyang-goyang karena takjub seraya matanya mengerjap-ngerjap tak percaya.
“Aku telah menjenguk Tuhanku pada malam buta.” Ya… aku akan berkata begitu. Ya, begitu, pasti ia ternganga.
“Aku baru bangun saat matahari sudah tinggi Iqbal,” katanya beberapa hari lalu.
Dasar pemalas, batinku. Apakah dia dia tidak melaksanakan sholat shubuh pada pagi hari?
Saking penasarannya aku menanyakan hal itu pada Ummi.
“Kenapa Farouk tidak sholat shubuh Ummi?”
Ummi hanya menjawabnya dengan senyum seraya tanya singkat. “Tetapi kamu sholat shubuh bukan??”
Aku merengut. Jawaban Ummi selalu tidak memuaskan. Apa hubungan jawaban itu dengan pertanyaanku? Kenapa farouk bangun siang sedangkan aku bangun shubuh buta? Pagi yang dingin harus kudekap dalam sajadah dan langkah gagah dari rumah ke al-Aqsa. Bahkan di kala malas, jarak dari gerbang jaffa ke gerbang damaskus dan tempat shalat saja terasa bermili-mil panjangnya.
Suatu saat aku pernah menakar-nakar. Di masjid ini begitu banyak orang. Kata Ayah, masjid ini pernah menjadi mikraj Rasulullah Muhammad. Tetapi, kendati banyak orang di sini, aku tahu bahwa orang-orang di kota ini jauh lebih banyak jumlahnya. Ya… kemana mereka pergi?? Kenapa mereka tidak sholat shubuh di sini?
“kenapa tidak sperti mereka saja Ummi?”
Hari itu Ummi belum menjawab. Tapi tak urung, aku terus dihantui pertanyaan itu hingga siang harinya. Kala bermain dengan farouk dan Leon, aku menanyakannya secara tak sengaja. Keduanya hanya tertawa, Oiya, aku belummengenalkan Leon. Ia berbeda dengan farouk. Kulit leon putih bersih dan rambutnya berwarna kuning kemerahan.
“kenapa kami tidak shubuh?” tanya mereka. “Hahahaha…tentu saja karena kami bukan Islam.”
Islam?? Bukankah itu agamaku?? Yang kutahu dari Ummi, ada beberapa agam di dunia ini. Namun yang baru kumengerti sekarang, ternyata perbedaan nama semacam itu bisa menjadi pembeda dari sebuah kewajiban yang begitu ditaati oleh Ayah dan Ummi. Begitu kami taati. Nyaris tak ku percaya.
“Karena apa kita sholat, Ayah?? Apakah karena Islam??”
Ayah mengelus rambutku dengan sayang. “Karena kebutuhan Nak. Karena kita membutuhkan hal itu seperti perut yang membutuhkan makanan.”
“Jadi bukan karena Islam??”
Mata Ayah berkijap-kijap. Baru kali ini aku melihat Ayah begini bodoh tak bisa menjawab pertanyaanku.
“karena Allah, sayang. Karena Allah, Tuhan kita. Karena kita mengenal-NYA. Karena kita tahu Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Aku belum puas dengan jawaban tersebut kendati Farouk dan Leon mengatakan hal yang sama. Jadi kenapa? Farouk dan Leon juga tahu bahwa Tuhan Maha Mengetahui. Tapi nyatanya mereka tidak sholat shubuh.
“Kenapa kita tidak seperti mereka saja, Ummi? Kalau kita seperti mereka, kita tidak perlu lagi sholat pagi-pagi buta.”
Ummi menyentil hidungku dengan sayang.
“Sholat itu kebutuhan, Nak. Setiap makhluk sholat dengan carany sendiri. Dan beginilah cara manusia menyembah Tuhannya. Sholat itu kebutuhanmu secara pribadi. Kalau kau sudah merasakan membutuhkannya, kau akan melaksanakannya tanpa kau peduli apakah orang lain melaksanakannya atau tidak.”
Ternyata benar juga. Saat siang harinya aku sholat dhuhur, seperti biasanya aku merasakan kegelisahan yang luar biasa sperti ketika perut tidak mendapat jatah yang semestinya. Karena itulah, aku mulai menyebut bahwa aku membutuhkannya.
“Assalamu’alaikum, Mujahid…!” sapa Ayah.
Aku merengut. Kali ini oleh dua sebab. Pertama menutupi rasa malu atas kekalahanku, dan kedua, karena aku tak suka dipanggil Mujahid. “panggil aku Iqbal, Ayah…”
“Oiya…! Kau adalah Iqbal dan Mujahid, Penyair…!”
Kata Ayah, Iqbal adalah seorang penyair gagah. Ayah suka syair. Tapi bukan syair-syair jorok yang banyak aku jumpai di selebaran-selebaran yang banyak kutemui di Biir Zeit. Bukan pula syair-syair umpatan pada tembok Baar Ilan. Karena suka syair itulah, begitu kata Ayah, Ayah menamaiku Iqbal. Agar kelak aku menjadi seorang penyair dan mujahid. Tapi agaknya sampai usiaku yang ketujuh ini aku belum juga menunjukkan bakat seorang penyair.
“Tapi jangan memanggilku Mujahid, Ayah…!”
“O… kenapa, Sayang? apakah menjadi tentara itu jelek?”
“Tentu saja tidak. Tapi Ayah akan membuat aku malu dan Allah tampak bodoh.”
“O-o, begitu? Bagaimana bisa?”
Awalnya aku suka dipanggil Mujahid. Farouk dan Leon pernah memanggilku dengan sebutan itu. Tapi dengar saja kata mereka berikutnya.
“Tuhanmu seperti orang bodoh, Iqbal” celetuk Farouk. “Karena ia memerlukan tentara. Berbeda dengan Tuhanku. Tuhanku malah telah mewariskan tanah Kanaan kepada kami, begitu ayahku suka bercerita.”
“Ya… tampak bodoh. Tuhanmu seperti ketakutan. Tuhanku tidak pernah takut bahkan saat menebus dosa umatnya ia tak takut. Dan itu membuat tuhanku tidak perlu tentara.”
Ayah hanya terkekeh. Rahangnya semakin tegas dengan senyuman itu. “Kau akan mengenali betapa Tuhanmu lebih hebat dari tuhan-tuhan mereka. Dan kau akan merasa bangga menjadi Mujahid Allah, Nak..!”
“Kurasa tidak Ayah. Bagaimana bisa aku bangga?”
“Nak, Tuhan kita dengan tuhan-tuhan yang disebut oleh Farouk dan Leon itu berbeda.”
Ayah bergegas mengemas barang-barangnya. “Ayo segera pulang. Sebentar lagi akan ada demo di sini.”
Aku bergegas membantu Ayah merapikan dagangan dan menyewa kashrut untuk membawa kami pulang ke Baar Ilan. Di jalan, kami berpapasan dengan orang-orang bertopi hitam dengan baju hitam, yang sibuk meneriaki orang-orang di jalanan. “Shebes…! Shebes…!”
Beberapa polisi tampak mengibaskan pentungan menyiapkan jalan. Kata Ayah, polisi-polisi itu berasal dari Beith Shemes, orang-orang Fathimiyah yang tidak memiliki nabi.
“Tuhan itu tiga, Ummi,” ucapku.
Ayah tampak mengernyitkan keningnya tanpa kemarahan. Itu yang kusuka dari Ayah, berbeda dengan Ummi yang langsung membentakku, “Bicara apa kau Iqbal??”
Ayah berusaha melerai kami. Tapi, kali ini tampak pembelaannya untukku. “Tuhan mana saja yang kau maksud, Nak?”
Urung kutelan sebutir kurma di tanganku. Mata Ayah bersahabat sekali seperti hendak mengajakku berdiskusi. Inilah perbedaan yang mencolok tersebut. Ayah selalu menanggapku sebagai orang dewasa sedangkan Ibu sebaliknya, selalu menaggapku masih kecil. Padahal aku sudah bukan anak-anak lagi.
“Pertama,” jawabku seraya melirik mata Ummi yang menyala di balik purdahnya, “Allah, Tuhan kita.”
“Ya, terus?”
“Kemudian Tuhan Farouk, dan ketiga Tuhan Leon.”
Ayah tertawa kecil
“Kenapa tertawa, Ayah? Bukankah Ayah yang mengatakn Tuhan kita berbeda denga tuhan-tuhan mereka? Leon juga mengatakan tuhannya berbeda dengan tuhan Farouk. Jadi, bukankah aku benar?”
“Begitu?” agaknya akhir-akhir ini, Ayah lebih banyak berfikir sebelum menjawab.
“Karena Tuhan kita berbeda dengan tuhan mereka, itu sebabnya kenapa mereka tidak sholat. Bukan begitu Ayah?”
“Iqbal…!” bentak Ummi. Nyaris saja tamparannya menerpa wajahku tetapi Ayah menahannya. Agaknya Ummi benar-benar marah dengan kalimatku itu. Itu yang jelek dari Ummi. Ummi tidak pernah memberi kesempatan untuk diskusi dan berfikir. Ummi selalu hanya akan mengatakan aku harus begini dan begitu. Tapi bagaimana aku akan melaksanakannya, sedangkan otakku belum bisa mencerna?
“Tuhan itu satu Nak, yakni Allah. Tuhan dalam arti dzat. Tidak dua, tidak tiga… tetapi satu saja.”
“Tetapi bukankah…”
“manusia bisa menganggap apa saja sebagai Tuhan. Mereak bisa menjadikan apa saja untuk disembah dan dipuja-puja, tetapi orang berakal hanya akan menyembah Dia yang berkuasa di atas Arsy itu.”
Rambut keriting kecil Farouk tampak bergoyang-goyang takjub.
“Ada-ada saja. Aku tak pernah bertanya begitu banyak pada ayahku. Aku heran kenapa kamu bisa? Tidak setiap hari aku bisa bicara dengan ayahku. Dia lebih banyak marah-marahnya kepadaku, membuat aku malas untuk menyapanya.”
“begitu juga aku,” papar Leon.
“Dia pahlawanku, tentu saja aku perlu bertanya padanya tentang segala hal. Aku takut perbuatanku salah, karena itu aku meminta pendapatnya.”
“Ooo begitu. Itulah bedanya. Kesalahan dalam agamamu diancam dosa tapi kesalahan dalam agamaku akan diampuni setelah kita membuat pengakuan.”
“Pengakuan? Tobat, maksudmu?”
Tapi leon tidak mampu menjawab. Aku sudah menduga. Selalu yang kuketahui lebih bnayak dari mereka. Aku bersyukur punya orang tua seperti Ayah yang banyak mengetahui hal-hal menakjubkan dan diceritakan kepadaku. Kesan cerdas itu tak luntur dari wajahnya walaupun akhir-akhir ini ia kulihat selalu berfikir sebelum menjawab pertanyaanku.
Kerlingan mata Ayah selalu disusul dengan senyum simpul.
“Karena sekarang Ayah tidak lagi berbicara dengan seorang anak kecil.”
Aku mengerjap, tertawa senang, bahagia dipandang dewasa oleh pahlawanku itu. Dengankedua tangannya, Ayah menjangkau lenganku dan meneggelamkanku ke dalam pelukannya.
“Ayah hanya ingin memperkenalkan padamu tentang tugas dan amanah, bukan kebencian. Ayah ingin kau mengetahui letak-letak kebenaran dan membelanya, bukan dengan nafsu dan kebencian terhadap orang lain dan agama lain.”
Aku mendongak dan kutemukan wajah bulan di antara dua matanya.
“Telah diamanahkan kepada gunung dan gunung menolaknya. Dan manusia menerima amanah itu… sebagai Khalifah di muka bumi.”
Aku tak sempat bertanya sebab terlanjur takjub dengan air mata itu.
“manusia itu khalifah Allah di bumi, Nak. Padanya bumi diamanahkan untuk dijaga harmoni kehidupan di atasnya agar senantiasa selaras dengan firman-firman Allah. Manusia adalah bagian dari hamba yang ditugaskan beribadah kepada Tuhan yang menciptakannya, bukan Tuhan yang dimauinya. Tapi berapa banyak yang ingkar dan mengikuti hawa nafsu?”
Alhamdulillahilladzii ahyana ba’dama amatana…
Aku harus bergegas. Ayah, hari ini aku mengalahkanmu, bukan?
Aku tak ingin Ayah membuka pintu kamarku lebih dulu. Aku harus sudah selesai sholat lail sebelum Ayah bangun. Bergegas aku bangkit dan membuka pintu.
Hmm… sepi! Harum menyeruak. Dimana-mana. Heran, apakah aroma malam selalu seperti ini? Kulongok ruang depan. Ayah tak ada. Sajadah juga tampak belum terhampar. Yap, aku benar-benar menang. Aku bergegas ke kamar belakang untuk mengambil air wudhu.
Saat aku menyelesaikan witirku, tiba-tiba telah ada Ummi dengan purdahnya yang sontak mendekapku dengan terisak-isak.
“Ayah belum bangun, Ummi?”
Tangan Ummi menjauhkan wajahku dari dekapnya, lantas menatap lurus wajahku.
“Pahlawan itu bukan milik kita, Nak.. ia telah menjadi milik tanah dan bangsanya.”
“Apakah Ayah pergi, Ummi? Kemana? Berapa lama?”
Tapi ummi hanya kembali membenamkan aku dalam pelukannya. Ummi selalu begitu bila ditanya. O, Ayah, kemana dia?
“Di tempat para Mujahid, Nak. Kau pun harus menjadi Mujahid. Apakah kau masih malu dipanggil Mujahid?”
“Tidak…!” jawabku cepat. Aku turut menangis tanpa tahu kenapa. Usapan tangan Ayah di kepalaku semalam masih terbayang saat menjelaskan definisi mujahid.
Rupanya semalam ada aksi bom bunuh diri dari Hamas di pasar orang Yahudi. Enam orang Yahudi tewas dan belasan lainnya luka-luka. Orang-orang ramai membincangkannya saat aku sedang bermain di dekat Gerbang Jafa.
“Apakah itu kau, Ayah?” tanyaku memantul-mantul dalam hati.
“kalau suatu saat kau mendengar berita tentang Ayah, Nak…ketahuilah bahwa Ayah melakukan ini karena membenci manusia. Ini semata sebuah upaya untuk mempertahankan izzatul Islam wal muslimin. Mempersiapkan segala apa yang ada pada diri kita untuk membuat gentar musuh adalah perintah Allah, palestina hanya punya nyawa ganda dan batu-batu. Itu yang kita gunakan untuk membuat gentar orang-orang yang masih merindukan tanah Kanaan itu.”
“Apa yang akan Ayah lakukan?”
“dengarkan banyak suara, rekam, dan ingatlah…lantas renungkan. Kelak kau akan menemukan kebenaran dari yang Ayah sampaikan.”
Aksi bom bunuh diri yang akhir-akhir ini marak di kalangan Intifadhah membuat Israel kehabisan akal. Ini adalah senjata ampuh tak terdeteksi dan tak ada penangkalnya. Peluru mana yang bisa membunuh kerinduan akan shahadah dari orang-orang muslim itu? Peluru hanya mampu melubangi batu.
Sikap represif Israel kemudian muncul. Tank-tank mereka mulai muncul di radius beberapa meter dari al-Quds.
Ribut sekali. Orang-orang berlarian. Helikopter berputar-putar di angkasa sambil memuntahkan peluru dan artileri. Aku belum begitu paham, dengan keadaan saat Ummi menyambar dan mendukungku sambil berlari. Jilbab dan purdahnya melambai-lambai menampar-nampar wajahku.
Saat mataku memiliki cakrawala, aku tertegun. Ini perang apa? Kulihat jet tempur berseliweran di udara. Bunyi ledakan dimana-mana.
“Tentara Israel…! Tentara Israel…!” teriak orang-orang.
“Yahudi laknat…! Terkutuk…!”
Ledakkan di dekatku. Pecahan mortir mengudara bercampur batu dan debu-debu. Ini gila…! Orang-orang tak bersenjata diserang dengan membabi buta.
“Iqbal…!”
Aku menoleh. Leon dan Farouk? Oo, mengapa mereka sendiri? Mana orang tua mereka?
Ada sungai di pipi keduanya. Ketakutan tampak terpahat nyata di wajah yang pias. Ummi menurunkanku dari dukungan.
“sa-saya…ikut…! Orang t-tua kami… di sana…!”
Kepulan asap hitam yang ditunjuk Farouk, lokasi pemukiman. Serangan brutal tentara israel tidak memperhitungkan warga. Banyak korban jatuh, bukan terbatas di kalangan muslim.
Ummi merengkuh mereka berdua, bertiga denganku.
“cepat lari…! Sembunyi…!”
Tapi dimana? Israel ada di setiap lekuk kota dengan revolver terkokang di tangan siap menambah mangsa. Aku menggigil. Oh, jangan hadir takut ini…!
“Jangan…!” teriak Ummi. Tangannya menyibakkan kami. Leon dan faroukh didorongnya ke tepi.
Tubuh Ummi limbung. Purdahnya basah darah. “Lari…lah…ka…lian…!”
“Allahu Akbar…!” teriakku.
“Ummi…..‼‼‼‼‼” bertiga kami menangis. Senyum yang terpahat itu mengucap selamat. Entah selamat datang untuk tamu yang datang atau selamat tinggal pada dunia. Tinggal tiga bocah bertiga seperti kelinci kecil di depan singa. Tentara Israel itu menatap dengan sorot mata tajam. Bau tuak… mabuk.
Leon dan Farouk menggigil. Tidak dengan aku. Tidak boleh. Aku seorang tentara-NYA. Aku tak boleh membuat-NYA malu memiliki tentara pengecut sepertiku. Aku tak boleh takut, sebab harusnya rasa itu tidak aku kenal. Tak ada yang sempat mengajarkannya padaku, tidak Ummi, tidak pula Ayahku.
“Sekarang…!” teriakku membusungkan dada. Kukepalkan tangan dan sejumput batu. “jangan berharap bisa tidur dalam buaian kasurmu… sebab rasa berdosa akan membuntutimu.”
“Iqbal, apa yang kau lakukan?”
“Jangan pernah berharap kami meninggalkan tanah ini karena takut. Kalian baru akan bisa tenang menmpatinya setelah kau bantai habis kami, dan itu tidak mungkin. Tuhan yang memiliki tanah ini yang akan melindungi dari tangan-tangan keji.”
Dan peluru meletup. Iqbal mendekap dadanya. Ia hanya diajarkan keberanian, buka rasa sakit dan pengecut.
Kumpulan Cerpen “Bidadari Senja” Sakti Wibowo
1 komentar:
Mati Syahid Atau Hidup Mulia Saudaraku..
Aku bangga bila disebut dengan kata MUJAHID.
Allahu Akbar..
Posting Komentar